PENGALAMAN PERTAMA KALI JALAN JALAN KE BALLI"----->>>>Pertama kalinya ke Bali, membuat saya menanti hari keberangkatan
dengan tidak sabar. Memang saya jarang (bahkan bisa dibilang tidak
pernah) traveling sebelum punya hobi foto. Dunia saya sebelum ini bagai
katak dalam tempurung. Maklum pekerjaan saya sebelumnya adalah guru les
privat untuk anak-anak, jadi lingkungan saya hanya sebatas dunia
anak-anak dan buku pelajaran. Jadi, mata saya menjadi terbuka lebar
(untungnya ga sampai copot keluar) ketika masuk ke dunia ini.
Sebelum mengenal fotografi pun, saya memang sudah lama ingin ke Bali. Soalnya, kebanyakan orang yang sudah mengunjungi tempat ini, pasti selalu memberi komentar yang positif atau pun bisa kembali mengunjungi tempat ini berkali-kali. Ada apa gerangan? Saya jadi penasaran.
Berhubung terlalu gembira, sepanjang perjalanan di pesawat, saya tidak bisa tidur. Haha… Padahal biasanya, saya sudah menonaktifkan mata dan otak sesaat setelah duduk di pesawat. Untungnya, saya mendapatkan posisi dekat jendela dan cuaca di luar sangat cerah, dengan warna langit biru romantis dan awan putih menggumpal. Pokoknya terpana dengan pemandangannya dech. Meski cuma awan doank, tapi rasanya kok bagus banget (barangkali Jakarta jarang ada awan yang bagus akibat polusi, hehe). Berkali-kali kata “wah” menggema dalam hati (kampungan ga ya?).
Tak seberapa lama, pesawat melewati formasi gunung-gunung yang berjejeran (kurang tahu apa nama gunungnya, kayaknya Bromo). Makin cakep saja pemandangannya. Saya melirik ke kiri, tampak Enche tertidur lelap. Maklum saja, kita harus sampai di bandara jam 5 pagi dan sebelumnya dia sudah kecapean dengan aktifitas yang cukup padat di akhir tahun.
Setelah dipanggil berkali-kali dan tidak bangun, saya pun mengeluarkan kamera saya. Dengan bangganya, saya mengambil beberapa foto. Dalam hati berpikir, biar bisa mewakili Enche menghasilkan beberapa foto bagus (kepedean). Klik… Klik… Klik… Puluhan foto saya ambil. Saya cukup puas dengan satu dua foto yang telah saya ambil.
Ternyata tak seberapa lama, si Enche bangun. Saya pun menunjukkan beberapa foto padanya. Dia menanyakan mengapa saya tidak membangunkan dia. Haiz… Dia sendiri yang gak bangun saat kupanggil. ==”
Kemudian, sembari melihat keluar, Enche pun berseru, “Tuh foto, bagus tuh pemandangannya.” Dia menyuruh saya mengambil foto karena dia gak mengeluarkan kameranya. Saya pun mengambil dua tiga foto.
Mungkin karena foto saya tak sesuai keinginannya, dia pun meminjam kamera saya dan mengambil satu foto. Cuma SATU FOTO dengan SEKALI JEPRET. Kemudian dia review dan dia balikin kamera saya.
Buset deh… Mengapa ketidakadilan terjadi di dunia ini? Hiks…
Ternyata setelah saya lihat fotonya. Satu fotonya itu bisa mengalahkan puluhan foto yang saya ambil dari awal.
Padahal saya lebih dulu foto, lebih lama mengamati, lebih punya kesempatan foto, posisi juga lebih bagus karena saya duduk tepat di samping jendela dan dia ada di sebelah kiri saya. Dia juga menginformasikan terlebih dahulu bahwa pemandangan serupa yang dia foto itu bagus. Tapi mengapa foto saya tidak bisa sebagus punya dia? Grgrgrgr…
Saya pun menoleh ke kiri. Dia cuma senyam senyum saja. Dia tahu kalau saya mau protes dan bertanya tentang ketidakadilan ini.
“Kamu cuma butuh lebih banyak latihan lagi saja,” begitu katanya.
Kemudian saya pun tertawa. Rasa lucu, aneh, kesal, bingung bercampur jadi satu. Pasrah dech… Mungkin memang perlu latihan lagi. Saya juga kepengen cuma sekali jepret saja atau setidaknya bisa tahu kapan ada momen bagus dan tidak asal jepret saja.
Intinya saya harus lebih sering motret dan lebih banyak belajar lagi. Kejadian di pesawat saja sudah bisa dapat pelajaran, apalagi nanti setelah tiba di Bali. Saat itu, tak sabar rasanya pengen cepat-cepat sampai dan motret.......lebay
Sebelum mengenal fotografi pun, saya memang sudah lama ingin ke Bali. Soalnya, kebanyakan orang yang sudah mengunjungi tempat ini, pasti selalu memberi komentar yang positif atau pun bisa kembali mengunjungi tempat ini berkali-kali. Ada apa gerangan? Saya jadi penasaran.
Berhubung terlalu gembira, sepanjang perjalanan di pesawat, saya tidak bisa tidur. Haha… Padahal biasanya, saya sudah menonaktifkan mata dan otak sesaat setelah duduk di pesawat. Untungnya, saya mendapatkan posisi dekat jendela dan cuaca di luar sangat cerah, dengan warna langit biru romantis dan awan putih menggumpal. Pokoknya terpana dengan pemandangannya dech. Meski cuma awan doank, tapi rasanya kok bagus banget (barangkali Jakarta jarang ada awan yang bagus akibat polusi, hehe). Berkali-kali kata “wah” menggema dalam hati (kampungan ga ya?).
Tak seberapa lama, pesawat melewati formasi gunung-gunung yang berjejeran (kurang tahu apa nama gunungnya, kayaknya Bromo). Makin cakep saja pemandangannya. Saya melirik ke kiri, tampak Enche tertidur lelap. Maklum saja, kita harus sampai di bandara jam 5 pagi dan sebelumnya dia sudah kecapean dengan aktifitas yang cukup padat di akhir tahun.
Setelah dipanggil berkali-kali dan tidak bangun, saya pun mengeluarkan kamera saya. Dengan bangganya, saya mengambil beberapa foto. Dalam hati berpikir, biar bisa mewakili Enche menghasilkan beberapa foto bagus (kepedean). Klik… Klik… Klik… Puluhan foto saya ambil. Saya cukup puas dengan satu dua foto yang telah saya ambil.
Ternyata tak seberapa lama, si Enche bangun. Saya pun menunjukkan beberapa foto padanya. Dia menanyakan mengapa saya tidak membangunkan dia. Haiz… Dia sendiri yang gak bangun saat kupanggil. ==”
Kemudian, sembari melihat keluar, Enche pun berseru, “Tuh foto, bagus tuh pemandangannya.” Dia menyuruh saya mengambil foto karena dia gak mengeluarkan kameranya. Saya pun mengambil dua tiga foto.
Mungkin karena foto saya tak sesuai keinginannya, dia pun meminjam kamera saya dan mengambil satu foto. Cuma SATU FOTO dengan SEKALI JEPRET. Kemudian dia review dan dia balikin kamera saya.
Buset deh… Mengapa ketidakadilan terjadi di dunia ini? Hiks…
Ternyata setelah saya lihat fotonya. Satu fotonya itu bisa mengalahkan puluhan foto yang saya ambil dari awal.
Padahal saya lebih dulu foto, lebih lama mengamati, lebih punya kesempatan foto, posisi juga lebih bagus karena saya duduk tepat di samping jendela dan dia ada di sebelah kiri saya. Dia juga menginformasikan terlebih dahulu bahwa pemandangan serupa yang dia foto itu bagus. Tapi mengapa foto saya tidak bisa sebagus punya dia? Grgrgrgr…
Saya pun menoleh ke kiri. Dia cuma senyam senyum saja. Dia tahu kalau saya mau protes dan bertanya tentang ketidakadilan ini.
“Kamu cuma butuh lebih banyak latihan lagi saja,” begitu katanya.
Kemudian saya pun tertawa. Rasa lucu, aneh, kesal, bingung bercampur jadi satu. Pasrah dech… Mungkin memang perlu latihan lagi. Saya juga kepengen cuma sekali jepret saja atau setidaknya bisa tahu kapan ada momen bagus dan tidak asal jepret saja.
Intinya saya harus lebih sering motret dan lebih banyak belajar lagi. Kejadian di pesawat saja sudah bisa dapat pelajaran, apalagi nanti setelah tiba di Bali. Saat itu, tak sabar rasanya pengen cepat-cepat sampai dan motret.......lebay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar